Senin, 23 Mei 2011

PORNOGRAFI: Pembatasan atau Penghapusan


Alasan yang mendasari seseorang melakukan pemerkosaan sangatlah sederhana, antara lain istri mereka tidak mau melayani, sesudah menonton video porno dan mabuk. Ketiga alasan tersebut yang paling sering dikemukakan oleh pelaku. Seharusnya pelaku pemerkosaan dihukum seberat-beratnya. Namun kenyataannya, terlihat bahwa pelaku pemerkosaan justru hanya mendapat hukuman beberapa tahun saja. Apabila kita hendak menegakkan hukum yang maksimal, maka harus ada tindakan yang saling berkesinambungan. Jangan di satu sisi hanya berfokus pada pornografi, namun di sisi lain aspek-aspek yang mendukung tidak dibahas tuntas.Menilik bahwa kejahatan seksual terjadi karena diawali dengan melihat buku, gambar maupun video porno, maka beredarnya barang-barang tersebut perlu disikapi sesegera mungkin. Peran serta masyarakat sangatlah diperlukan dalam rangka memberantas pornografi. Masyarakat harus memiliki rasa kebersaman dalam memberantas tindakan anti pornografi dan tindakan anti pelanggaran kesusilaan. Tidak membeli barang pornografi merupakan salah satu bentuk tindakan awal dari masyarakat untuk menanggulangi pornografi. Masyarakat juga dapat bertindak proaktif dalam memberantas pornografi dengan cara bersama polisi mendatangi tempat-tempat yang dijadikan sabagai sarana pornografi.
Pornografi diatur dalam pasal 281 dan 282 KUHP, dimana pelaku pornografi diancam pidana penjara 2 tahun 8 bulan sampai 1 tahun 4 bulan pidana penjara. Namun kenyataan yang hidup di tengah-tengah masyarakat adalah bahwa pelaku pornografi hanya dijatuhi 3 sampai 4 bulan saja. Namun dalam hal pormografi, standar pandangan mengenai pornografi di masing-masing daerah tidak sama, untuk dapat menjustifikasi suatu hal sebagai pornografi atau tidak, maka harus dilihat terlebih dahulu konteks waktu dan tempatnya.
Urgensi untuk membrantas pornografi dijawab dengan dibentuknya UU Anti Pornografi. Sebenarnya yang menjadi permasalahan pornografi adalah penentuan persepsi yang tepat mengenai “melanggar kesusilaan”. Definisi yang melanggar kesusilaan dikaitkan dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat dimana tiap zaman norma-norma itu megalami degradasi penurunan. Sehingga dengan demikian, subyek pelanggaran pornografi menjadi “wilayah abu-abu”. Disinilah pornografi memerlukan perangkat hukum yang lebih kuat dan tegas. Tidak adanya standarisasi ponografi akan menyebabkan ketidakjelasan definisi yang jelas mengenai pornografi.
Masalah utama dari pornogarfi adalah bagaimana menemukan unsur pornograsi dan bagaimana menegakkan hukum terhadap pornografi. Pemberian batasan pornografi menimbulkan dilema, pembatasan justru akan menjebak kita pada saat muncul tindakan baru yang nyata-nyata secara jelas tidak diatur dalam batasan pornografi tersebut. Salah satu sarana pemberantasan pornografi adalah degan cara meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pornografi melalui sosialisasi pornografi. Media memegang peranan penting sebagai sarana sosialisasi pornografi.
Penghapusan pornografi tidak mungkin dilakukan. Sehingga pembatasan terhadap pornografi merupakan upaya yang maksimal yang dapat ditempuh. Upaya pembatasan pornografi adalah dengan mengurangi peredaraan barang-barang pornografi, seperti gambar, film maupun sticker-sticker pornografi. Pembatasan tersebut akan lebih efektif apabila pelaksanaannya tidak hanya oleh aparat saja. Namun peran serta masyarakat secara efektif dibutuhkan.
Terdapat dua hal yang secara simultan dapat dilakukan. Pertama mengenai penafsiran secara otentik. Kedua, diperlukan peraturan perundang-undangan yang menyangkut distribusi bacaan-bacaan porno tadi, sedemikian rupa, sehingga tidak semua orang dapat dengan mudah melakukan transaksi atas sajian-sajian yang bersifat porno. Ketiga pihak berwajib, juga harus proaktif meminta pertanggungjawaban dari pegelola media yang dinilai menyajikan bahan bacaan atau tayangan-tayangan yang bersifat porno. Itulah sebenarnya ketiga langkah yang perlu dilakukan secara simultan. Salah satu fungsi dewan pers adalah menetapkan dan mengawasi kode etik jurnalistik. Mengawasi kode etik jurnalistik tentunya mengawasi pornografi yang dilarang kode etik.
Kesimpulan, pertama, standar yang dinamakan melanggar kesusilaan itu sebenarnya sudah ada. Kedua, dalam banyak hal kita sangat terpengaruh dengan ancaman-ancaman pidana yang tinggi. Ketiga bagaimana mengoptimalkan peran media sebagai wadah pemberantasan pornografi khususnya televisi. Keempat, apakah pembentukan peraturan perundang-undangan baru dibutuhkan untuk memberantas korupsi. Kelima, yang paling peting adalah mengajak masyarakat untuk tanggap kemudian bertindak atas hal-hal yang dipandang sebagai penyakit masyarakat. Kemudian yang terakhir adalah ingat yang dinamakan persoalan pelanggaran kesusilaan itu tidak hanya berbicara soal anda telah membaca, namun melihat hal yang bersifat melanggar kesusilaan. Sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi suatu dampak yang sangat hebat dan berat. Misalnya penyakit kelamin, HIV, dan lain-lain.

0 komentar:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites