Kamis, 19 Mei 2011

Pembangunan Bagi Kaum Miskin

A. Latar Belakang
Pembangunan yang dilakukan sejak orde baru hingga menjelang krisis yang menerpa Indonesia pada pertengahan tahun 1997 yang lalu, tak dapat dipungkiri memang menunjukkan keberhasilan Indonesia dalam pembangunan fisik yang cukup signifikan. Indonesia dapat dikatakan tergolong negara yang berhasil dalam pembangunan. Selama lebih dari tiga dekade yang lalu, Indonesia telah mencatat prestasi yang mengesankan dalam pembangunan manusia.
Kemajuan dicapai di berbagai bidang, mulai dari pengurangan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan hingga peningkatan harapan hidup dan kemampuan membaca dan menulis. Angka kematian bayi, misalnya, menurun tajam sejalan dengan peningkatan akses terhadap sarana kesehatan dan sanitasi. Pada periode yang sama, juga terjadi peningkatan peranan perempuan: perbedaan rasio pria-wanita di berbagai tingkat pendidikan semakin mengecil dan kontribusi wanita dalam pendapatan keluarga juga semakin membesar. Sementara itu, ketimpangan antar propinsi semakin menipis.
Namun, dibalik keberhasilan tersebut, pertanyaan selanjutnya yang perlu dijawab adalah apakah keberhasilan pembangunan tersebut memang telah dirasakan oleh segenap rakyat Indonesia terutama kaum miskin? Lebih jauh, apakah pembangunan yang berhasil jika dilihat dari aspek fisik tersebut telah berhasil membebaskan rakyat dari berbagai kungkungan kemiskinan dan ketertinggalan berbagai dimensi kehidupan manusia?
kenyataannya, pasca krisis 1997 menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia selama satu dekade terakhir bisa dikatakan konsisten berkisar 17-19 persen. Tingkat kemiskinan ini akan semakin tinggi lagi jika kita menggunakan garis kemiskinan (poverty line) Bank Dunia 2 dollar per hari yang menyebutkan bahwa separuh dari rakyat Indonesia (sekitar 49 %) tergolong miskin. Fenomena seperti banyaknya pengangguran, remaja yang putus sekolah, banyaknya gepeng-gepeng di sisi-sisi jalanan perkotaan menjadi hal yang krusial, dimana saat ini pembangunan sedang gencar-gencarnya dilakukan oleh pemerintah dalam segala bidang terlebih infrastruktur perkotaan. Misalnya, dibangunnya banyak mall, gedung-gedung pemerintahan, jalan-jalan dan sebagainya.
Hal tersebut tidak imbang dengan keadaan masyarakat miskin yang yang hampir kebanyakan tidak diberi akses dalam pendidikan, kesehatan, dan partisipasi dalam kegiatan ekonomi yang seharusnya terbuka dari adanya proses pembangunan. Sebagai contoh, di Surabaya banyak sekali didirikan pusat perbelanjaan atau mall sekitar 20 mall lebih dan beberapa diantaranya masih dalam proses pengerjaan termasuk diantaranya Plaza Surabaya, World Trade Center (WTC), Tunjungan Plaza (TP), Mall Galaxy, Hi-Tech Mall, ITC Mega Grosir, City of Tomorrow, BG Junction, Maspion Square, Golden City Mall, Plaza Marina, Darmo Trade Center, Pasar Atom Mall, Surabaya Town Square, Pakuwon Trade Center-Supermall Pakuwon Indah (PTC-SPI), Royal Plaza, Pasar Turi Mall, Jembatan Merah Plaza, dan Empire Palace. Termasuk yang masih dalam proses pengerjaan diantaranya Ciputra World Surabaya milik PT. Ciputra Surya Tbk. serta Grand City Mall besutan PT Hardaya Widya Graha. Tak mau ketinggalan, pengembang PT Bukit Darmo Property Tbk juga tengah membangun LenMarc Shopping Mall. Adanya serbuan mall ini dapat dipandang sebagai show of force (unjuk gigi) kepada publik bahwa Surabaya memang kota metropolis terbesar kedua setelah Jakarta. Dan, sebagaimana layaknya kota metropolis pembangunan fisik selalu diutamakan.
Hal tersebut terus dilangsungkan setidaknya dipicu adanya dua tafsir sosial ekonomi yang dijadikan semangat pembangunan pemerintah kota Surabaya. Pertama, dengan menghadirkan mall akan memicu kenaikan pendapatan daerah akan naik dan tentunya juga pendapatan nasional akan naik. Kedua sebagai kota besar, tingkat pendapatan dan daya beli masyarakat dianggap jauh lebih tinggi dari kota-kota besar lainnya. Itulah salah satu daya tarik utama bagi para pengembang untuk agresif membangun mall-mall di Surabaya. Karena mall cenderung membidik masyarakat konsumtif. Tapi, di balik gemerlap sebuah kota metropolis selalu tersimpan cerita-cerita sedih tentang warga kota yang tidak ikut merasakan hasil pembangunan. Diantaranya serbuan gizi buruk (gizbur) yang menjangkiti sebagian warga miskin kota, banyaknya pengangguran, remaja yang putus sekolah, anak jalanan, gembel dan pengemis. Masyarakat miskin tersebut menjadi korban ketidakadilan ekonomi atas nama pembangunan. Dimana masyarakat tersebut harusnya mendapat perhatian lebih dan akses yang terbuka dari pemerintah. Namun sebaliknya, pemerintah lebih mememtingkan pembangunan infrastruktur kota.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Jeffrey Sachs dalam bukunya yang fenomenal The End of Poverty : How We Can Make It Happen In Our Lifetime (2005), kalangan miskin semakin terpuruk dan hampir bisa dipastikan tidak memiliki kemampuan walau hanya untuk bergerak ke arah tangga pembangunan (the ladder of development) yang paling dasar sekali pun. Terbatasnya akses-akses bagi kalangan miskin menyebabkan mereka tak mampu untuk mengakumulasi kapital yang diperlukan baginya untuk keluar dari jebakan kemiskinan (extreme poverty trap). Konsekuensinya, kaum miskin tak mampu berperan aktif dalam kegiatan ekonomi dan mengambil berkah dari adanya pembangunan. Pembangunan, seperti yang ditulis Sen di atas, semestinya memberikan akses yang merata bagi setiap orang. Sebagaimana yang ditulis oleh Ranis et al, (2006), pembangunan selain dari aspek yang sifatnya fisik-material, dimensi lainnya yang harus terbangun adalah pemberdayaan (empowerment), kebebasan politik, hubungan sosial, kesejahteraan masyarakat, keadilan, keamanan politik, keamanan ekonomi, dan kualitas lingkungan hidup yang lebih baik.

B. Pembahasan
Negara merupakan konsep yang sangat kompleks. Kompleksitas konsep negara ini antara lain bersumber pada berbagai bentuk, fungsi maupun struktur yang sangat berbeda-beda yang dikaitkan dengan terminologi negara. Salah satu implikasinya adalah munculnya berbagai perspektif teoritis tentang negara yang juga sangat berbeda-beda. Dari perspektif hukum internasional, misalnya, konsep negara sangat erat dikaitkan dengan karakter ‘kedaulatan’, yang komponen-komponennya meliputi wilayah negara, aparat pemaksa serta penduduk. Dari perspektif politik, negara dipahami sebagai arena bagi berlangsungnya tawarmenawar berbagai kepentingan. Dalam perspektif politik ini dibangun dan dikembangkan dari sejarah negara modern dan, oleh karenanya tidak relevan dengan proses politik dan pembentukan kekuasaan politik yang berlangsung di negara-negara dunia ketiga.
Michael P. Todaro hampir selalu mengidentikkan dunia Ketiga dengan produktivitas sumber daya manusia yang rendah, kemiskinan, pertumbuhan penduduk yang tinggi, tidak demokratis, feodal, dan cenderung militeristik, pasar yang tidak sempurna, atau standar hidup yang rendah (Todaro, 1998). Begitulah lingkaran tanpa putus yang menantang ahli-ahli ekonomi pembangunan dalam merumuskan exit strategy, sebelum mendorong mereka mengejar (catch up) negara-negara yang lebih maju.
Negara ketiga tidak lepas dari campur tangan negara-negara maju. Namun, apa yang dilakukan oleh negara-negara maju untuk memodernkan negara ketiga memiliki tujuan atau kepengtingan untuk diri sendiri. Yakni negara maju akan selalu tergantung negara ketiga terhadapnya.
Modernisasi dalam dunia ketiga yang mengatasnamakan pembangunan negara tidak lepas kaitannya dengan industrialisasi. Seperti yang terjadi di Indonesia, kebijakan politik, ekonomi tidak dibentuk berdasarkan karakteristik bangsa dan negara tapi berdasarkan keinginan para elit pemerintah yang banyak mengadopsi dari negara maju. Dengan alasan pembangunan yang menciptakan banyak lapangan pekerjaan, negara maju membuka perusahaan di dunia ketiga. Namun, hal tersebut tidak seperti yang diwacanakan. Masih banyak masyarakat yang pengangguran, kelaparan, dan remaja yang putus sekolah karena alasan tidak ada biaya.
Menurut Andre Gunder Frank dalam bukunya Sosiologi Pembangunan dan Keterbelakangan Sosiologi menyatakan bahwa negara-negara maju mengekspor partikularisme yakni ke negara terbelakang yakni partikularisme yang dibungkus dengan slogan-slogan universalitas seperti, kemerdekaan, keadilan, demokrasi, dan sebagainya. Dan semua itu tidak lain merupakan panggung depan dari panggung belakang negara-negara maju yang mempunyai tujuan dan kepentingan tertentu untuk mengeksploitasi negara berkembang.
Oleh karena itu adanya pembangunan pada intinya adalah untuk memenuhi kepentingan-kepentingan orang yang bermodal yang mempunyai kepentingan tertentu. Sehingga pembangunan tidak bisa dirasakan secara menyeluruh apalagi bagi masyarakat miskin. Sisi-sisi kemanusiaan dalam pembangunan dikesampingan dan masyarakat miskin menjadi korban yang hanya bisa melihat saja tanpa merasakan dampak dari pembangunan.
Dengan itu, pembangunan yang seperti itu hanya mendidik masyarakat ini sebagai masyarakat yang konsumtif yang hanya bisa mengantungkan diri kepada negara maju.

C. Kesimpulan
Pembangunan dalam dunia ketiga tidak lepas kaitannya dengan industrialisasi. Seperti yang terjadi di Indonesia, kebijakan politik, ekonomi tidak dibentuk berdasarkan karakteristik bangsa dan negara tapi berdasarkan keinginan para elit pemerintah yang banyak mengadopsi dari negara maju. Dengan alasan pembangunan yang menciptakan banyak lapangan pekerjaan, negara maju membuka perusahaan di dunia ketiga. Namun, hal tersebut tidak seperti yang diwacanakan. Masih banyak masyarakat yang pengangguran, kelaparan, dan remaja yang putus sekolah karena alasan tidak ada biaya.
Pembangunan yang bisa dilihat saat ini hanya menguntungkan para pemodal dan investor. Sisi-sisi kemanusiaan dari pembangunan dikesampingkan sehingga masyarakat miskin tidak bisa merasakan dari pembangunan tersebut. Bantuan-bantuan yang diberikan oleh pemerintah hanya menciptakan budaya konsumtif tanpa memberikan solusi yang tepat supaya bisa keluar dari keterpurukan.
Daftar Pustaka
http://adsindonesia.or.id/alumni/articleattachment/articleteddylesmana04.pdf. diakses 7 Oktober 2010

http:\modernisasi-di-negara-dunia-ke-3.html. diakses 7 Oktober 2010

Hettne, Bjorn. 2001. Teori Pembangunan dan Tiga Dunia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

0 komentar:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites