Senin, 23 Mei 2011

KDRT: Siapa Korbannya???


Korban utama dalam kekerasan dalam rumah tangga adalah perempuan dan anak, perempuan dan anak mutlak memerlukan perlindungan hukum. Saat ini RUU mengenai kekerasan dalam rumah tangga sedang dalam tahap penggodokan. Lahirnya RUU ini berawal dari inisiatif LBH Advokasi untuk perempuan Indonesia dan Keadilan (APIK) bersama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lainnya yang tergabung dalam Jaringan Kerja Advokasi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Jangka PKPT) untuk menyiapkan RUU anti KDRT. Menurut LBH APIK tujuan dari RUU ini adalah untuk menghilangkan atau meminimalisirkan tindak pidana KDRT. Jumlah korban KDRT meningkat terus tiap harinya. Namun ironisnya penegakkan hukum bagi si korban juga menunjukkan angka berbanding terbalik dengan jumlah angka korban tersebut.Selain itu RUU KDRT juga bertujuan untuk menjaga keutuhan rumah tangga, dimana keutuhan rumah tangga dapat terjadi jika setiap anggota keluarga memahami hak dan kewajibannya masing-masing atau tidak ada anggota keluarga yang melakukan kesewenang-wenangan. Keutuhan yang dimaksud disini artinya posisi yang sama antara sesama anggota keluarga, posisi yang seimbang antara suami, istri dan anak dengan orang tua dan tidak ada pihak yang merasa tersubordinat dengan pihak yang lain.
Tidak dapat dibayangkan jika Indonesia tidak memiliki RUU anti KDRT, mungkin akan semakin banyak orang terluka dan bahkan meninggal karenan dianiaya dalam keluarganya dan akhirnya melahirkan generasi-generasi bangsa yang tidak sehat. RUU anti KDRT mempunyai tujuan untuk membentuk keluarga dan bangsa yang sehat. Keberadaan RUU ini merupakan bentuk antisipasi yang sebenarnya agar masyarakat mengetahui bahwa Negara tidak menginginkan, tidak menyetujui dan menghukum orang yang melakukan kekerasan.
Pengertian KDRT menurut RUU anti KDRT adalah segala bentuk, baik kekerasan secara fisik, psikis, kekerasan secara seksual maupun ekonomi yang pada intinya mengakibatkan penderitaan, baik penderitaan yang kemudian memberikan dampak kepada korban, seperti misalnya mengalami kerugian secara fisik atau bisa memberikan dampak bagi korban menjadi sangat trauma atau mengalami penderitaan secara psikis. KDRT juga diistilahkan dengan kekerasan domestik. RUU anti KDRT dibuat agar dapat menjangkau pihak-pihak yang tidak hanya dalam hubungan suami istri, tapi juga pihak lain.
Persoalan KDRT adalah fenomena gunung es yang hanya kelihatan puncaknya sedikit tetapi sebetulnya tidak menunjukkan fakta yang valid. Selama ini KDRT selalu diindikasikan sebagai salah satu bentuk delik aduan. Hanya saja masyarakat (khususnya aparat penegak hukum) selalu menganggap jika suatu kasus berkaitan dengan keluarga maka selalu dinyatakan sebagai delik aduan, padahal kasus itu sebenarnya adalah sebuah kejahatan murni. Ketidakberanian korban untuk melaporkan KDRT sebagai kejahatan murni berkaitan erat dengan budaya yang berlaku di Indonesia, yaitu budaya patriarki yang sangat kental yang sering kali melihat bahwa masalah KDRT bisa diselesaikan tanpa melalui jalur hukum.
RUU anti KDRT membagi ruang lingkup KDRT menjadi 3 bagian hubungan, yaitu pertama, hubungan garis keturunan darah; kedua, hubungan suami istri; ketiga, hubungan orang yang bekerja di dalam lingkup keluarga tersebut atau tidak punya hubungan sama sekali. Dari hasil penelitian LBH APIK ditemukan bahwa KDRT dapat terjadi di segala tingkatan ekonomi. Kelompok yang rentan menjadi korban adalah perempuan, anak dan pembantu rumah tangga.
Dalam RUU anti KDRT kekerasan dibagi 4 macam, yaitu:
a. kekerasan fisik; memukul dengan menggunakan alat tubuh atau alat bantu dan bisa dideteksi dengan mudah dari hasil visum.
b. kekerasan psikis;
c. kekerasan ekonomi;
d. kekerasan seksual.
Keberadaan RUU anti KDRT (yang nantinya akan disahkan sebagai UU) akan menjadi tidak efektif jika tidak didukung oleh aparat penegak hukum, karena penegakkan sebuah UU sangat tergantung dari perilaku aparat penegak hukum.

0 komentar:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites