Senin, 23 Mei 2011

PHK DITINJAU DARI HUKUM PERBURUHAN

Pemutusan hubungan kerja, menempatkan tenaga kerja dalam posisi yang lemah apabila dihadapkan pada kepentingan perusahaan. Sebagai pihak yang dianggap lemah, tak jarang para tenaga kerja mengalami ketidakadilan. PHK yang dilakukan oleh perusahaan memiliki pengaturan sendiri, namun UU yang berkaitan dengan PHK tenaga kerja di Negara kita memiliki kelemahan-kelemahan. Agar suatu UU berjalan sesuai konteksnya maka diperlukan adanya infrastruktur penegakan hukum. Tujuan utama dari UU perburuhan adalah untuk melindungi kepentingan buruh.Ketentuan terbaru mengenai tenaga kerja diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 yang sebelumnya UU Nomor 12 Tahun 1964. Kedua UU tersebut intinya sama yaitu melarang PHK, namun apabila terdapat kepentingan lain di perusahaan. Pihak perusahaan harus mengajak buruh atau serikat buruh untuk merundingkan masalah, karena pengusaha dan buruh memiliki kewajiban yang sama. Hal-hal yang dibicarakan dalam perundingan antara lain alasan-alasan diberikannya PHK, kompensasi serta mekanisme pemberian kompensasi. Perundingan wajib dilakukan jika tidak dilakukan, maka UU Nomor 13 Tahun 2003 menentukan bahwa lembaga yang seharusnya berwenang untuk menyelesaikan perselisihan tidak boleh menerima permohonan PHK oleh swasta. UU tidak mengatur hal-hal apa saja yang boleh dilakukan dalam PHK, tetapi UU mengatur hal-hal apa saja yang tidak boleh dilakukan dalam PHK. Sebuah perusahaan yang baik dan sehat seharusnya menyiapkan asuransi dan jamsostek agar buruh merasa terlindungi hak-haknya.
Lembaga P4D/P4P terdiri atas tiga elemen yaitu wakil dari buruh, wakil dari pengusaha dan wakil dari pemerintah. Diharapkan terciptanya netralitas dari lembaga itu sendiri. Kenyataan di lapangan berkata lain dimana praktek KKN dan tidak adanya transparansi dari lembaga ini. Sehingga netralitas yang diharapkan tidak pernah ada. Lembaga P4D/P4P merupakan garda terakhir dalam perlindungan buruh jika tidak ada ijin dari Lembaga P4D/P4P maka PHK ditolak. Apabila PHK dilakukan direksi perusahaan tanpa ijin dari lembaga P4D/P4P, maka buruh bisa mengajukan banding secara tertulis dengan melaporkan tindakan pengusaha yang melanggar hukum kepada bagian pengawasan di Departemen Tenaga Kerja.
Proses pemeriksaan dalam P4D/P4P tidak membicarakan masalah hukum secara terperinci. Hal ini dikarenakan para anggotanya belum tentu berlatar belakang hukum. Sebaiknya buruh mengajukan banding ke bagian pengawasan di Departemen Tenaga Kerja. Ada sebuah pertanyaan besar apakah pesangon yang diberikan itu sesuai? Jika sesuai PHK boleh dilakukan? Dilihat dari sudut pandang buruh, buruh membutuhkan jaminan keterlindungan akan masa depannya, karena buruh memiliki kekhawatiran akan nasibnya yang sewaktu-waktu akan di PHK oleh perusahaan dimana buruh bekerja. Disinilah peranan UU Nomor 13 Tahun 2003 memainkan peranan penting untuk melindungi nasib buruh. Namun sayangnya UU Nomor 13 Tahun 2003 sebagai regulasi perburuhan terbaru justru tidak mengakomodasi hal itu. Justru UU Nomor 12 Tahun 1964 yang secara tegas bahwa hal PHK itu dilarang.
Hubungan kerja yang berdasar atas kontrak kerja lebih disenangi oleh pengusaha karena tidak ada keharusan bagi pengusaha untuk memberikan pesangon. Tetapi apabila hubungan kerja kontrak tersebut diberhentikan ditengah jalan, maka izin pemberian PHK tetap dilakukan. Salah satu pihak harus melakukan pembayaran untuk menutupi masa kerja tersebut. Kerja kontrak dilandasi adanya syarat waktu yaitu apabila pekerjaan tersebut bersifat musiman, tergantung cuaca, atau pekerjaan tersebut tidak memakan waktu yang lama. Namun kebanyakan syarat tersebut disalah artikan oleh pengusaha. Fenomena menarik lainnya adalah masa percobaan, saat ini hampir semua perusahaan menerapkan masa percobaan selama enam bulan atau satu tahun baru kemudian pekerja diangkat sebagai pekerja tetap. Padahal masa percobaan tidak boleh lebih dari tiga bulan dan tidak boleh diperpanjang. Ada fakta yang menarik di dunia kerja kita bahwa ada tenaga honorer tidak hanya guru di perusahaan swasta juga ada. Padahal regulasi perburuhan itu sendiri tidak mengenal tenaga honorer.
Syarat pendirian serikat buruh minimal ada 10 orang dan melampirkan AD/ART yang memuat tujuan pendirian, susunan pengurus dan cara kerja. Pendirian serikat buruh harus diberitahukan kepada pengusaha, apabila pengusaha tidak mengakui serikat tersebut maka pengusaha dapat dikenai sanksi penjara atau denda 100 sampai 500 juta.
Departemen Tenaga Kerja memiliki peranan penting dalam hal pengawasan tenaga kerja. UU perburuhan Indonesia menganut tripartite, yaitu musyawarah yang melibatkan tiga pihak, yaitu pengusaha, buruh dan pemerintah. Pemerintah dalam hal ini diwakili oleh petugas Depnaker yang bertindak sebagai penengah. Selain sebagai penengah antara buruh dan pengusaha. Depnaker juga berperan dalam pengawasan regulasi perburuhan, yaitu apakah regulasi perburuhan telah dilaksanakan dengan benar atau tidak.

0 komentar:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites