Pendahuluan
Indonesia merupakan negara yang mempunyai sumber daya alam yang melimpah ruah. Namun, hal tersebut tidak imbang dengan fenomena banyaknya masyarakat Indonesia yang menderita gizi buruk. Dimana dengan sumber daya alam yang melimpah ruah tersebut, masyarakat Indonesia diharapkan hidup sejahtera dan tidak menderita. Penderita gizi buruk di Indonesia dapat dilihat dari data penelitian Lembaga Pangan Dunia (WFP) pada awal tahun 2008 menyebutkan jumlah penderita gizi buruk dan rawan pangan di Indonesia mencapai angka 13 juta.
Data lain yakni berdasarkan hasil riset Dinas Kesehatan (Dinkes) untuk Provinsi Jawa Timur tercatat di Surabaya ada sekitar 250 ribu balita, dimana 300 di antaranya menderita gizi buruk, 90 persennya berada di wilayah Surabaya Utara seperti, Pegirian, Wonokusumo, Semampir, Gadang. dan Sidotopo. Daerah ini merupakan wilayah urban yang padat penduduk dan terkesan kumuh karena kurang memperdulikan pentingnya arti kebersihaan.
Terkait dengan anggaran di bidang kesehatan, pada tahun 2010, terjadi peningkatan anggaran kesehatan menjadi Rp 236,17 miliar dari sebelumnya Rp 231,58 miliar. Anggaran kesehatan itu akan digunakan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat miskin, pemerataan layanan kesehatan, serta peningkatan sarana dan prasarana kesehatan. Usaha peningkatan kualitas kesehatan tak bisa lepas dari faktor pendidikan. Sebab, pendidikan memegang peran untuk mengarahkan paradigma masyarakat pada kesehatan. Hanya saja peningkatan anggaran tersebut belum terlihat efektifitasnya dalam pengentasan kemiskinan di Surabaya.
Hal tersebut membuktikan bahwa masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan kondisinya terutama yang berada dalam garis kemiskinan. Dari segi medis gizi buruk dapat mengakibatkan menurunnya tingkat kecerdasan anak, rabun senja dan penderita gizi buruk rentan terhadap penyakit terutama penyakit infeksi. Ini disebabkan karena minimnya pengetahuan orang tua tentang cara penanganan gizi buruk dan pola perilaku hidup sehat.
Kenaikan harga bahan pokok yang cukup tinggi seperti saat ini memicu pada peningkatan jumlah orang miskin dan penderita gizi buruk. Ini bisa terjadi pada masyarakat yang berpenghasilan rendah dan tetap. Masyarakat tersebut membatasi pengeluaran untuk kesehatan dan biaya pendidikan, pola makan yang hanya satu atau dua kali dalam sehari. Untuk menghemat konsumsi masyarakat tersebut biasanya membeli makanan dengan mutu yang rendah sehingga kualitas gizi dan kesehatanpun juga rendah.
Orang tua miskin akan mengajak seluruh anggota keluarga turut bekerja dengan waktu yang lama tanpa memperhatikan kesehatan diri. Semuanya dilakukan untuk mempertahankan kelangsungan perekonomian keluarga. Pendek kata, masyarakat tersebut harus dapat mengencangkan ikat pinggang dengan meredusir kebutuhan agar pengeluarannya tidak terlalu banyak.
Selain kemiskinan, faktor perilaku hidup sehat yang salah karena ketidaktahuan juga terjadi kepada penduduk miskin. Misalnya, di kalangan orang tua miskin anggaran untuk merokok dan minum kopi sering kali lebih penting daripada untuk memenuhi asupan gizi anak.
Keadaan masyarakat yang dalam garis kemiskinan menjadikan segala sesuatu yang harusnya mudah untuk diperoleh dan didapatkan menjadi suatu hal yang sulit. Seperti untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, pendidikan, pelayanan kesehatan yang kebanyakan segala sesuatunya didasarkan nilai materi untuk mendapatkannya. Namun, dengan keadaan yang memprihatinkan yakni kemiskinan yang menimpa masyarakat tersebut. Hal tersebut sulit untuk diperoleh atau didapatkan secara optimal. Sehingga pengetahuan mengenai kesehatanpun masyarakat miskin tersebut tidak mengetahuinya yang menjadikan banyak masyarakat miskin yang menderita gizi buruk.
Pembahasan
1. Pengertian Gizi Buruk
Gizi buruk adalah suatu istilah teknis yang umumnya dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan, dan kedokteran. Gizi buruk merupakan bentuk terparah (akut) dari proses terjadinya kekurangan gizi. Anak balita (bawah lima tahun) sehat atau kurang gizi dapat diketahui dari pertambahan berat badannya tiap bulan sampai usia minimal dua tahun (baduta). Apabila pertambahan berat badan sesuai dengan pertambahan umur menurut suatu standar organisasi kesehatan dunia, dia bergizi baik. Apabila sedikit di bawah standar disebut bergizi kurang yang bersifat kronis. Apabila jauh di bawah standar dikatakan bergizi buruk. Jadi, istilah gizi buruk adalah salah satu bentuk kekurangan gizi tingkat berat atau akut. Anak yang bergizi kurang, berarti kekurangan gizi pada tingkat ringan atau sedang, belum menunjukkan gejala sakit. Dia seperti anak-anak lain, masih bermain dan sebagainya, tetapi jika diamati dengan saksama badannya mulai kurus.
Gizi buruk bisa disebabkan oleh dua faktor yang saling terkait yaitu zat gizi yang bersumber dari makanan dan infeksi penyakit. Kedua faktor tersebut secara tidak langsung disebabkan salah satunya oleh ketahanan dan keamanan pangan. Ketahanan dan keamanan pangan merupakan suatu hal yang erat kaitannya dengan pembangunan pertanian dalam peningkatan gizi bagi masyarakat. Ketahanan pangan menuntut kemampuan masyarakat dalam menyediakan kebutuhan pangan yang diperlukan secara sustainable (berkelanjutan) dan juga menuntut kondisi yang memudahkan masyarakat memperolehnya dengan harga yang terjangkau khususnya bagi masyarakat lapisan bawah (sesuai daya beli masyarakat). Namun, hal tersebut tidak sesuai dengan yang diharapkan masyarakat terutama masyarakat lapisan bawah (miskin). Sehingga seringkali msayarakat tersebut belanja seadanya untuk mencukupi kebutuhan keluarganya sehari-hari tanpa memperhatikan nilai gizi.
Menurut situs Dinas Kesehatan Pemda Kota Jakarta, keadaan gizi buruk secara klinis dibedakan menjadi 3 macam yaitu: Kwashiorkor, Marasmus, dan Kwashiorkor-Marasmus. Ketiga kondisi patologis ini umumnya terjadi pada anak-anak di negara berkembang yang berada dalam rentang usia tidak lagi menyusui. Ini disebabkan karena pada usia tersebut terjadi peningkatan kebutuhan energi serta peningkatan kerentanan terhadap infeksi virus atau bakteri. Perbedaan antara marasmus dan kwashiorkor tidak dapat didefinisikan secara jelas menurut perbedaan kurangnya asupan makanan tertentu, namun dapat teramati dari gejala yang ditunjukkan penderita.
Tanda-tanda kwashiorkor meliputi: demam di seluruh tubuh, terutama pada punggung kaki, wajah membulat dan sembab, pandangan mata sayu, perubahan status mental: cengeng, rewel, kadang apatis, rambut berwarna kepirangan, kusam, dan mudah dicabut, otot-otot mengecil, teramati terutama saat berdiri dan duduk, bercak merah coklat pada kulit, yang dapat berubah hitam dan mengelupas, menolak segala jenis makanan (anoreksia), sering disertai anemia, diare, dan infeksi. Sedangkan tanda-tanda marasmus, anak tampak sangat kurus, tinggal tulang terbungkus kulit, wajah seperti orang tua, cengeng, rewel, perut cekung, kulit keriput, sering disertai diare kronik atau sembelit. Gejala klinis Kwashiorkor-Marasmus tidak lain adalah kombinasi dari gejala-gejala masing-masing penyakit tersebut.
2. Budaya Kemiskinan yang Membelenggu
Banyak kalangan menganggap bahwa gizi buruk akibat ketidakmampuan seseorang memenuhi kebutuhan makanan yang bergizi yang diakibatkan oleh minimnya pendapatan. Di sisi lain, pemerintah sejak puluhan tahun lalu telah mempropagandakan istilah “empat sehat lima sempurna”, itu yang sebenarnya harus diperjuangkan dan dipakai sebagai indikator kemiskinan paling mudah dan paling sederhana untuk dipahami oleh masyarakat luas. Gerakan pengentasan gizi buruk sangat dekat dengan pengentasan kemiskinan, sebab faktor kemiskinanlah yang menyebabkan gizi buruk.
Kemiskinan dalam berbagai kepustakaan diartikan sebagai suatu standar hidup yang paling rendah. Sar A. Levitan (1980), misalnya, mendefinisikan kemiskinan sebagai kekurangan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu standar yang layak. Bradley R. Schiller (1980), mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidaksanggupan untuk mendapatkan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan sosial yang terbatas. Dengan nada yang sama kemiskinan didefinisikan Emil Salim (1980), sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok. John Friedmann (1979), mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Basis kekuasaan sosial meliputi: modal yang produktif atas aset (misalnya, tanah, perumahan, peralatan, kesehatan, dan lain-lain), sumber keuangan (income dan kredit yang memadai), organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama (partai politik, sindikat, koperasi, dan lain-lain), network atau jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang-barang, pengetahuan dan keterampilan yang memadai, dan informasi yang berguna untuk memajukan kehidupan anda. Kemiskinan alamiah terjadi antara lain akibat sumber daya alam yang terbatas, penggunaan teknologi yang rendah dan bencana alam. Kemiskinan "buatan" terjadi karena lembaga-lembaga yang ada di masyarakat membuat sebagian anggota masyarakat tidak mampu menguasai sarana ekonomi dan berbagai fasilitas lain yang tersedia, hingga mereka tetap miskin. Maka itulah sebabnya para pakar ekonomi sering mengkritik kebijakan pembangunan yang hanya terfokus pada pertumbuhan ketimbang pemerataan.
Perbedaan para ahli dalam mendefinisikan kemiskinan juga berbeda ketika mendefinisikan penyebab kemiskinan. Pertama, ada ahli yang mengatakan bahwa kemiskinan pada dasarnya bersumber pada sebab alamiah (naturally poor). Hal ini mengandung pengertian bahwa suatu masyarakat atau seseorang yang mengalami kemiskinan disebabkan negara, kota atau desa tempat tinggalnya yang secara alamiah kurang atau tidak memiliki kekayaan alam. Kedua, bersumber pada sistem ekonomi yang dianut suatu negara yang bersumber pada sistem kapitalis yang bersifat sangat eksploitatif. Ketiga, kemiskinan juga terjadi karena suatu negara tidak mempunyai modal untuk pembangunan. Keempat, kemiskinan terjadi karena negara tidak memiliki orang yang terlatih, terdidik, atau tidak mempunyai pengalaman teknis dan administratif. Kelima, penyebab kemiskinan selalu dikaitkan dengan kecenderungan sifat hakiki suatu bangsa. Keenam, negara menjadi miskin karena terus-menerus dirugikan oleh negara-negara industri, terutama dalam masalah perdagangan bahan mentah dan hasil pertanian. Ketujuh, kemiskinan disebabkan karena latar belakang sejarah masa lampau (Suyanto, 1990).
Orang yang hidup dalam kelompok miskin bukan berarti menyerah begitu saja terhadap tekanan yang menimpanya. Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi tekanan ekonomi terutama ketika menghadapi masa-masa krisis, misalnya, mengikat sabuk lebih kencang dengan jalan makan sekali sehari dan beralih ke makanan yang mutunya lebih rendah (Scott, 1981). Senada dengan itu, Carner (1988) mengemukakan bahwa mereka bekerja lebih banyak dengan lebih sedikit makan, yang berarti meminimalkan konsumsi dan bahan-bahan pokok lainnya. Kondisi ini ditunjukkan melalui upaya subsistensi swadaya yang mencakup kegiatan, seperti berjualan kecil-kecilan, bekerja sebagai sebagai tukang kecil, buruh lepas atau bermigrasi (Scott,1981). Berkaitan dengan upaya meningkatkan penghasilan Carner (1988) menyebutkan bahwa salah satu strategi pelangsungan hidup yang ditempuh oleh kelompok miskin adalah para anggota rumah menganekaragamkan kegiatan-kegiatan kerja mereka. Selain itu Robert Hirschan mengungkapkan bahwa strategi untuk menghadapi tantangan hidup bagi kaum miskin dilakukan melalui tiga perilaku yaitu menyingkir, bersuara, menyesuaikan diri. Strategi pertama menyingkir adalah strategi yang dilakukan oleh sebagian masyarakat miskin, baik melalui migrasi maupun menyekolahkan anak dengan harapan kelak akan memperoleh kehidupan yang lebih layak di lain tempat. Strategi kedua yaitu bersuara, yang diwujudkan melalui pengorganisasian kekuatan dan unjuk rasa, namun hal ini tidak umum dilakukan. Strategi yang terakhir adalah penyesuaian diri dengan situasi dan kondisi yang ada. Strategi ini merupakan strategi paling umum yang dilakukan masyarakat miskin (Robert Chambers. 1987:182-183).
Dari kaca mata Sosiologis fenomena ketimpangan sosial ini tampak mengarahkan kepada bentuk kemiskinan struktural. Menurut Selo Soemardjan (1980) adalah bentuk kemiskinan struktural. Yakni kemiskinan yang diderita oleh golongan masyarakat, karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia untuk mereka.
Lebih lanjut, kemiskinan ini akan tetap terpelihara jika dimantapkan dengan sikap masyarakat yang nrimo memadang kemiskinan sebagai nasib, bahkan sebagai takdir Tuhan. Akibatnya nilai kritis atas kemiskinan yang melingkupi sebagian warga miskin kota menjadi kecil bahkan hilang.
Data di Indonesia dan di negara lain menunjukkan adanya hubungan antara kurang gizi dan kemiskinan. Proporsi anak yang gizi kurang dan gizi buruk berbanding terbalik dengan pendapatan. Makin kecil pendapatan penduduk, makin tinggi persentase anak yang kekurangan gizi; makin tinggi pendapatan, makin kecil persentasenya. Hubungannya bersifat timbal balik. Kurang gizi berpotensi sebagai penyebab kemiskinan melalui rendahnya pendidikan dan produktivitas. Sebaliknya, kemiskinan menyebabkan anak tidak mendapat makanan bergizi yang cukup sehingga kurang gizi dan seterusnya.
Kemiskinan merupakan penghambat keluarga untuk memperoleh akses terhadap ketiga faktor penyebab di atas. Kemiskinan tidak memungkinkan anak balita mendapat MPASI (makanan pengganti air susu ibu) yang baik dan benar. Kemiskinan dan pendidikan rendah membuat anak tidak memperoleh pengasuhan yang baik sehingga anak tidak memperoleh ASI, misalnya. Kemiskinan juga menghambat anak memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai.
3. Kurang Optimalnya Peran Pemerintah
Permasalahan gizi buruk merupakan masalah yang sulit untuk diatasi. Penyebabnya tak lain adalah karena faktor kemiskinan yang sudah membudaya. Kemiskinan adalah masalah jangka panjang yang seharusnya diatasi melalui program jangka panjang pula, dan tentu saja harus dimulai dari program jangka pendek. Misalnya untuk kasus di Bali, pendataan masyarakat miskin mungkin lebih tepat dilakukan oleh pihak desa pakraman yang tentunya harus bekerja sama dengan pemda, BPS atau BKKBN yang memiliki kewenangan secara formal. Dalam jangka panjang, tentu saja, pihak yang berwenang harus melakukan sensus bukan sampling untuk memperoleh data yang akurat tentang kemiskinan dengan berbagai indikator yang dapat dipahami dan disepakati oleh masyarakat Indonesia pada umumnya. Sekarang sangat ironis, program-program pemerintah dirancang tidak sesuai kebutuhan masyarakat karena pemimpin kita miskin data tentang kemiskinan.
Ada persoalan sangat penting yang hampir dilupakan oleh pemerintah yakni kenaikan harga-harga kebutuhan pokok seperti beras, minyak goreng, energi BBM dan listrik yang tentunya akan menjadi faktor pemicu cepatnya angka kemiskinan di Indonesia. Faktor ketidakmampuan masyarakat memenuhi kebutuhan pokok juga disebabkan oleh rendahnya pendapatan masyarakat buruh atau pegawai yang hampir tidak pernah mendapat regulasi yang bijaksana. Sehingga masyarakat tidak salah memvonis bahwa pemerintah lebih memihak para pengusaha investor.
Seharusnya, jika ada komponen kebutuhan pokok dinaikkan tentunya komponen pendapatan masyarakat layaknya juga harus naik untuk menciptakan keseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran rumah tangga. Dalam kenyataannya, tidak pernah terjadi di masyarakat, jika ada kenaikan pendapatan selalu lebih rendah dari kenaikan harga-harga sehingga lambat laun gap atau ketidakseimbangan antara pendapatan dan pengeluaran semakin besar saja. Jika kondisi ini terjadi terus-menerus, hampir dapat dipastikan beberapa puluh tahun lagi kita akan mengalami kebangkrutan masyarakat secara massal dan tentunya akan berdampak tidak hanya pada gizi buruk, tetapi juga pada seluruh aspek kehidupan yang lainnya.
Pada masa Orde Baru diperlukan waktu lebih dari 20 tahun untuk mengurangi penduduk miskin dari 40 persen (1976) menjadi 11 persen (1996). Data empiris dari dunia menunjukkan bahwa program perbaikan gizi dapat dilakukan tanpa harus menunggu rakyat menjadi makmur, tetapi menjadi bagian yang eksplisit dari program pembangunan untuk memakmurkan rakyat.
Namun, adanya penyakit KKN akan mengurangi efektivitas pelaksanaan program sehingga program dan proyek yang ditujukan untuk memperbaiki berbagai faktor penyebab (ketahanan pangan, pengasuhan anak, dan pelayanan kesehatan) tidak tampak dampaknya. Sehingga masalah kekurangan gizi tidak akan dapat diatasi sampai tuntas atau minimal mengurangi angkanya.
Penutup
1. Kesimpulan
Keadaan masyarakat yang semakin miskin menjadikan masyarakat semakin bergizi buruk. Karena dengan keadaan miskin segala sesuatu untuk mencukupi kebutuhan pokok bagi diri dan keluarga akan semakin sulit. Terutama dalam hal kesehatan. Masyarakat tersebut akan mengesampingkan masalah kesehatan dan lebih mementingkan pekerjaan untuk mencari sesuap nasi sebagai pengencang ikat pinggang walaupun makanan tersebut tidak ada nilai gizi pun yang terpenting dalam benak masyarakat tersebut bisa kenyang sehingga tidak kelaparan.
Fenomena tersebut membutuhkan peran pemerintah secara optimal agar persoalan gizi buruk tidak berlarut-larut yang menjadikan semakin terpuruknya keadaan negeri ini. program yang baik dan teraplikasi pada masyarakat secara optimal sangat diharapkan untuk mengatasi atau setidaknya mengurangi penderita gizi buruk ini. program tersebut akan mudah untuk diaplikasikan dengan adanya kerja sama dengan banyak pihak yakni pemerintah, masyarakat secara keseluruhan, dan juga para investor.
2. Saran
Fenomena gizi buruk bagi masayarakat miskin sangat memprihatinkan dan perlu diatasi. Pemerintah diharapkan bisa merumuskan tanggung jawab sosial dari perusahaan (Coorporate Social Responbility) kepada masyarakat dengan pengawasan ketat. Diantaranya merumuskan tentang jaminan penyediaan lapangan pekerjaan, pendidikan, dan kesehatan, dan sebagainya. Dua yang terakhir adalah menjadi prioritas utama.
Jaminan pendidikan dengan diberikan lewat pelatihan ketrampilan kepada keluarga miskin tentang usaha produktif dan berdaya saing. Hal ini menjadi penting ditengah persaingan serbuan pekerja terdidik dari luar negeri yang masuk ke Surabaya lewat kebijakan ACFTA. Secara lebih lanjut tentang sistem pendidikan yakni sistem yang sejalan dengan kultur dan wilayah itu.pendidikan harus lebih berorientasi pada praktik perdagangan, pelabuhan, industri dan jasa. Dengan demikian, warga di wilayah yang 47 persen penduduknya tidak tamat SD tersebut tergerak sendiri untuk mencari pendidikan. (Jawa Pos,2010 ) Sementara, jaminan kesehatan dapat dilakukan dengan cara menyediakan posko kesehatan dan program kesehatan terpadu kepada masyarakat seperti penyediaan sarana mandi, cuci, dan kakus (MCK) yang baik serta penyediaan asupan gizi bagi warga khususnya ibu dan anak dan lain-lain.
Hal ini tentunya harus didukung oleh beberapa faktor diantaranya dengan dukungan dari pemerintah tentang adanya pemberdayaan bagi wanita-wanita pada daerah tersebut. Dengan adanya pemberdayaan bagi wanita-wanita diharapkan agar lebih meminimalkan angka kemiskinan yang terjadi.
Pemerintah telah melakukan upaya berupa kebijakan-kebijakan untuk mengentaskan kemiskinan. Salah satu program pengentasan kemiskinan yang saat ini tengah dijalankan adalah Program Pengentasan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP). Upaya lainnya untuk mengentaskan kemiskinan adalah dengan pemberian kredit mikro bagi warga miskin. Kredit mikro merupakan strategi kunci untuk mengentaskan kemiskinan, khususnya untuk memberdayakan penduduk miskin. Kredit mikro adalah mata rantai yang kerap kali hilang bagi keluarga miskin yang mencoba membuka usaha mikro atau kecil untuk mempertahankan hidupnya. Kredit mikro diperlukan guna menyediakan modal untuk memulai atau melanjutkan usaha mikro atau kecil dalam rangka meningkatkan pendapatan. Pemberian kredit mikro memungkinkan masyarakat miskin untuk memiliki masa depan yang lebih cerah, dengan tujuan akhir yaitu kemandirian.
Dalam pembangunan, perempuan termasuk dalam kelompok termiskin dari yang termiskin. Diharapkan hal tersebut menjadi alasan untuk memberi perhatian lebih besar terhadap perempuan, sehingga perempuan layak untuk menjadi sasaran sebagai kelompok utama penerima kredit mikro daripada laki-laki.
Argumen bahwa perempuan layak menjadi sasaran utama pemberian kredit mikro didukung oleh bukti bahwa perempuan lebih mampu bertahan terhadap kemiskinan yang mereka derita daripada pria. Perempuan memiliki cara yang jauh lebih kreatif dalam memenuhi kebutuhan mereka, lebih mampu sedemikian rupa mengolah penghasilan keluarga, dan sangat fleksibel mengkombinasikan pekerjaan domestik mereka, dengan aktivitas yang ditujukan untuk memperoleh pendapatan. Dibanding pria, perempuan jauh lebih teliti dalam jadwal pengembalian kredit. Artinya perempuan lebih disiplin dalam mengembalikan pinjaman. (Sulikah Asmorowati,2009).
Argumen lainnya mengenai memberikan pinjaman kredit mikro bagi perempuan adalah, karena pinjaman tersebut digunakan secara efektif. Ketika diberi kredit mikro, perempuan diyakini memberi manfaat yang lebih bagi keluarga, karena perempuan cenderung menggunakan hampir keseluruhan pendapatannya untuk keluarga, untuk lebih memperhatikan masa depan anak-anak mereka, dan siap berkorban apa saja untuk mewujudkan masa depan tersebut.
Daftar pustaka
Asmorowati, Sulikah.2009.Dampak Pemberian Kredit Mikro Untuk Perempuan: Analisis Pengadopsian Model Grameen Bank di Indonesia. ojs.lib.unair.ac.id/index.php/MKP/article/view/2394/2379 diakses 1 Maret 2010.
Chambers, Robert. 1987. Pembangunan Desa Mulai Dari Belakang. Terjemahan. Jakarta: LP3ES.
http://my.opera.com/stoppenindasan/blog/penderita-gizi-buruk-di-indonesia-mencapai-13-juta-jiwa. Diakses 30 Mei 2010
http://cybertech.cbn.net.id/cbprtl/Cybernews/detail.aspx?x=Hot+Topic&y=Cybernews%7C0%7C0%7C3%7C20. Diakses 15 Mei 2010
http://kpudbali.wordpress.com/2008/10/07/gizi-buruk-kemiskinan-data-dan-data-kemiskinan/. Diakses 15 Mei 2010
Jawa Pos.14 Februari 2010.Operasi Wajah Pendidikan di Surabaya Utara (3): Gelontoran Bopda Dipadu Pendidikan Life Skill. Hal.31.
John Friedmann. 1979. “Urban Poverty in Latin America, Some Theoritical Considerations”. dalam (Emil Salim. 1980. “Perencanaan Pembangunan dan Pemerataan Pendapatan).
Lewis, Oscar. 1993. “Kebudayaan Kemiskinan” dalam Parsudi Suparlan, (Ed.993.Kemiskinan di Perkotaan. Jakarta: LP3ES.
Sar A. Levitan. 1980. “Programs in Aid of the Poor for the 1980’s, Policy Studies in Employment and Welfare” dalam Andre Boy Ala. (Ed.). 1990. Kemiskinan dan Strategi Memerangi Kemiskinan. Yogyakarta: Liberty.
0 komentar:
Posting Komentar